Jumat, 27 Maret 2015

Nyepi di Pulau Dewata

Hai Bajs! Tahun lalu, saya dan Denit sempat menonton perarakan ogoh-ogoh dari Pura Jagatnata Sorowajan, Yogyakarta diarak keliling kampung sampai dibakar. Kali ini saya mendapatkan kesempatan untuk melihat perarakan Ogoh-ogoh satu hari sebelum Nyepi langsung di Pulau dengan mayoritas Umat Hindu di Indonesia, BALI!

20 Maret 2015

Mulai bulan Februari saya sudah melihat setiap Banjar di Bali mulai membuat Ogoh-ogoh. sayangnya, persiapan tersebut tak sempat terekam kamera. tapi kurang lebih satu minggu sebelum perarakan, ogoh-ogoh tersebut mulai menampakkan bentuknya yang (bagi saya) WOW!!!. 
Jumat, 20 Maret 2015, tempat saya bekerja menghentikan aktivitas sampai pukul 12:00 WITA sesuai dengan instruksi dari Banjar Adat Taman, Kerobokan, Bali, karena sudah mulai dilakukan persiapan untuk acara Pengerupukan. 

Apa itu Pengerupukan? Adalah sebuah ritual / upacara mengarak ogoh-ogoh (yang merepresentasikan Buta kala) keliling kampung pada sore hari. Kali ini saya memilih untuk menonton acara tersebut di Lapangan Puputan Badung, meskipun sebenarnya di dekat kos saya (daerah simpang 6 Denpasar) juga menjadi pusat untuk acara Pengerupukan tersebut. Tapi karena sudah janjian dengan teman untuk melihat di Lap. Puputan, akhirnya saya pun menuju Lapangan Puputan Badung.  

17:00 WITA

Acara diselenggarakan pada pukul 19:00 WITA, tapi jam 5 sore saya sudah berangkat dari kos. lapangan Puputan tidak jauh dari kos, sekitar 5-10 menit. Sengaja saya datang lebih awal, untuk menghindari macet dan nyore disana. 

Mulai dari pagi hari, saya sudah melihat Ogoh-ogoh yang telah selesai dan siap diarak, diletakkan di pinggir jalan. Setiap selang 2 meter pasti ketemu patung besar atau kecil yang berbentuk Buta Kala yang seram. Fiuhh,, untung saya sudah terbiasa, hahahha

Jl Diponegoro, Denpasar
Salah satu sudut lapangan Puputan Badung

Sampai di Lapangan Puputan, setelah memarkirkan motor didepan Koramil, saya langsung mencari logistik. 
Lapangan sudah ramai oleh orang-orang yang bersiap menyambut datangnya ogoh-ogoh. Dengan pasti saya melangkahkan kaki, menuju ke penjual sate (taulaahh sate apaaa...)

Pas..kipas..kipas....

1 porsi dibandrol dengan harga Rp 15.000. Ini adalah Pork Satay alias Sate B2
Setelah menunaikan ibadah jasmani, saya memutuskan untuk berkeliling di sekitar lapangan puputan. 
Dan ternyata, disitu terdapat Museum Bali, tapi karena sudah sore dan akan ada acara, Museum tersebut sudah tutup. 


Museum Bali

Saya melangkahkan kaki menuju ke pusat keramaian, dimana terdapat patung pejuang bali yang dikelilingi oleh kolam ikan berteratai. Didekat kolam tersebut, banyak penjual makanan ikan, jadi anak-anak kecil yang kepingin memberi makan ikan bisa mendapatkan satu plastik kecil seharga Rp 1.000, setidaknya mereka tidak membuang makanan manusia kedalamnya, tapi entah kalo mereka melemparkan makanan ikan lengkap dengan plastik pembungkusnya. 


Tabur...taburr...


 Selain penjual makanan ikan, disekitarnya juga banyak yang jual gorengan. tapi jangan bayangkan ada aktivitas menggoreng diatas wajan yang besar. Di Bali, akan banyak dijumpai penjaja gorengan yang terdiri dari tahu goreng, tempe goreng tepung kering, dan lumpia ditempatkan dalam satu kotak berkaca. Penjajanya membawa kotak tersebut diatas kepala alias disunggi. Kebanyakan penjualnya adalah ibu-ibu, tapi kali ini saya menjumpai bapak-bapak yang menjualnya dan mangkal disekitar kolam.

Tahu, tempe, lumpia dengan kotak PINK. 
Dipotong pake gunting

Disiram saus dengan bahan dasar tepung dan tauco, rasanya manis
dan kalo mau pedes akan ditaburi potongan cabe

Voila
Harga : Rp 5000
Ada peribahasa yang mengatakan "ada gula ada semut" begitu juga dengan "ada keramaian ada penjual" Gak cuma makanan yang dijual, mulai dari balon, baju, tas, ikat pinggang bahkan ada juga yang kaya ini 
Besarkan dan Panjangkan! (apa hayo) lengkap dengan alat peraga.
Jual terapi lintah juga

Bebatuan 

Yang ini ngehits di seluruh Indonesia kayanya
18:00 WITA

Saya memutuskan untuk mencari spot yang nyaman untuk melihat arak-arakan. Lalu saya melangkahkan kaki menuju ke depan Koramil. Sudah banyak orang yang duduk-duduk ditrotoar. Momen seperti ini memang sering dimanfaatkan sebagai acara kumpul keluarga. 
Kemesraan ini....janganlah cepat berlaaaaaluuuuu
Langit Bali mulai gelap, saya memutuskan untuk beranjak dari tempat saya menikmati kemesraan keluarga kecil tersebut, dan mulai berkeliling, rupanya sudah ada ogoh-ogoh yang diarak. 

Ogoh-ogoh pertama
Masih biasa...
Langit yang mulai gelap membuat saya sedikit khawatir, jangan-jangan ntar kamera saya nggak mampu menangkap momen-momen indah *halah*. Akhirnya, setelah bertemu dengan Mbok Yanthi, kami mencari spot "aman" untuk menanti barisan "Buta Kala". Dan, dibawah lampu halogen dekat air mancur ditengah jalan menjadi spot "aman". Aman untuk pencahayaan kamera, tapi ternyata nggak aman untuk atraksi ogoh-ogoh yang digoyang. Dan ternyata, kendala memotret arak-arakan ogoh-ogoh dengan kamera hape bukan hanya dari pencahayaan. Foto saya banyak yang blur, akibat tak mampu menangkap "goyangan" dahsyat si ogoh-ogoh. 

Tak usah banyak cakap lagi, silahkan menikmati hasil jepretan hape kamera dengan perjuangan jadi pepes dan basah kuyup keringetan.

Tikus terbesar yang pernah saya lihat



Dewa laut ceritanya
Warna dasar putih didukung dengan lighting putih, ya gini deh...
Ini bisa muter Bajs!

Kostum / cat ogoh-ogoh yang hitam pun jadi ga kliatan berpadu sama langit malam

Naek kuda udah mainstream bajs!

Joker!


Pesan yang saya tangkap, Setan/demon/roh jahat tidak hanya berbentuk mengerikan,
tapi juga berupa perempuan cantik dengan perilaku yang "tidak" cantik

Ini bukan ogoh-ogoh bajs!, ini barisan musik pengiringnya

captionnya sih I love Mom gitu... 
Ogoh-ogoh yang membentuk sesosok perempuan bertangan banyak tersebut, menggunakan tank-top dan rok mini, ditangannya memegang setrika, sapu, pel, baju dan saya lupa apa lagi. Ogoh-ogoh ini selain bisa berputar, jika roknya dibuka maka akan menampakkan sebuah bentuk kelamin perempuan dan menyemburkan air ke penontonnya. Dan masih ada beberapa ogoh-ogoh yang menyemprotkan air dari alat kelamin mereka. fiuuhh.... 

Ini yang paling fenomenal 

Emm,,, itu mas-masnya abis mashroom-an kayanya

Disitu kadang saya merasa terbang (Satria, 2015)


Maafkan jika ini blur

Prosesi Potong Gigi
Yang sangat menarik adalah, ogoh-ogoh disini tidak hanya menggabungkan 2 karakter tapi bisa sampai 4 karakter dengan ukuran sekitar 2 meter/karakter. maafkan jika foto tersebut blur, itu yang paling baik. Video dibawah ini akan menjelaskan kenapa bisa blur. 



yah,,, begitulah, diarak, digotong dengan bambu, digoyang, bahkan ga jarang yang rusak, lalu dirusak ditempat. Seperti yang satu ini, digoyang, lepas dari bambu penyangganya, diinjak-injak, lalu yang bawa pada berhamburan, kasian ini mas-mas nggeret sendirian sebelum temannya yang lain datang membantu.


Kepala ular kobra diperbesar 1000x fiiiiuuhhh

Celeng!!!
Dan dengan munculnya si Celeng, hujan turun cukup deras, dan hape saya nge-hang, dan tamatlah riwayat pendokumentasian malam itu. 

Waktu saat itu menunjukkan sekitar pukul 21.30 WITA, karena hujan penonton pun bubar, dan karena hape saya sudah nge-hang, badan saya sudah basah dan remuk *halah* akhirnya setelah si celeng lewat, saya dan Mbok Yanthi membubarkan diri. 

Malam itu saya merasa lemas-lemas puas, kreativitas dalam seni rupa yang luar biasa. Saya bertanya sama Mbok Yanthi, bahannya apa sih, Katanya, rangkanya dari bambu, luarannya dari gabus/sterofoam, kemudian dicat, lalu dihias. 

21 Maret 2015

Pagi hari

Suasana sangat sepi, matahari bersinar cerah, yang terdengar hanya gonggongan anjing, kokok ayam, dan beberapa teriakan balita yang hanya terdengar sekilas. 
Saya bangun, tanpa mandi, lalu mengeluarkan ransum yang sudah saya siapkan, sarapan, nyalain laptop, nonton film....

satu film....

dua film.....

tiga film......

dan sudah sore, saya mandi, lalu maen hape....

maen hape.....


maen hape.......



dan sudah malam, 

gelap....


sunyi......


suara tokek....


suara anjing....



suara tokek....


21:00 WITA
Saya memutuskan untuk.....

Tidur.

*sekian*

By: Peppyepifanie

Kamis, 26 Maret 2015

Menikmati Kopi Gayo di Gunung Burni Telong



 Guys !!!, Ini ada sedikit cerita dari kota dingin Takengon. Semoga sedikit coretan ini bisa mengobati kerinduan berpetualang bersama kalian the Bajs..

Gunung burni telong adalah salah satu gunung berapi aktif dengan ketinggian 2600 Mdpl, terletak di kabupaten Bener Meriah, Aceh. Burni Telong merupakan bahasa gayo yang arti nya gunung yang terbakar. Begitu orang menyebut gunung ini.

Perjalanan ini kami lakukan bersembilan peserta nya adalah Mona, Ema, Lulu, Firda, Udin, Putra, Nawar dan saya sendiri Satria. Awal perjalanan kami pun dimulai, dengan diantar sebuah mobil Ambulance kami berangkat menuju desa Bandar Lampahan. Biasanya membawa orang sakit, tapi kali ini membawa para pendaki. Unik kan! Tapi jangan salah, mobil ini berjasa bagi kami, kalau tidak diantar, kami membutuhkan waktu 1 jam lagi untuk mencapai pintu gerbang pendakian. disini kami harus melapor terlebih dahulu. Dan membayar biaya masuk Rp 5000/ orang. 

10.30 kami memulai pendakian sampai tiba disebuah gubuk, biasa disebut rumah mamak, disini kami melingkar dan berdoa. Berdoa selesai, kami mulai berjalan menyusuri perkebunan warga, disini tanaman nya berupa kopi dan palawija, kebetulan sekarang para petani sedang menanam kentang. Mata kami sangat dimanjakan oleh pemandangan tanaman palawija yang menghijau. Teman-teman masih semangat 45, namun Nawar dan saya sempat berada di urutan belakang karena menemani Mona yang berjalan pelan-pelan, karena kondisi tubuh yang belum beradaptasi dengan ritme perjalanan seperti ini. Nawar yang sudah paham betul jalur yang akan kami lalui menanyakan kepada Mona.”Gimana Mon! masih sanggup melanjutkan pendakian?” Mona pun menyangupi. Tas Mona pun dibawakan oleh Nawar. Pendakian kami lanjutkan sampai akhirnya kami sudah memasuki kawasan hutan.

11.20 didalam hutan medan yang kita lalui berupa jalan setapak, yang mulai agak menanjak, terkadang dapat sedikit jalan yang datar. Bonuuss kalau saya menyebutnya. Pohon-pohon besar yang menggambarkan betapa masih alami nya hutan ini. Ini harus kita jaga agar anak cucu kita bisa menikmati nya:). udara yang sejuk membuat kami tidak merasakan kelelahan yang begitu berarti. Kami pun sampai di sumber mata air dan menemui Nawar dan Udin yang sudah berjalan terlebih dahulu, mengingat banyaknya pendaki yang mendaki hari ini, kami mengutus mereka kepuncak untuk mencari spot untuk mendirikan tenda. Ada hal yang membedakan gunung ini dengan gunung lain, disini kita tidak perlu membawa air dari awal pendakian, cukup membawa jirigen kosong saja.

11.58 ( Saatnya Loading)
Semua jerigen kami isi untuk bekal di puncak, Air nya sangat jernih dan segar. Namanya juga air pegunungan kan yak..jadi saya nggak segan-segan buat minum langsung. Tapi disini belum ada petunjuk arah menuju sumber mata air. Buat pendaki yang baru pertama mendaki ke gunung ini mungkin akan kesulitan menemukannya. Ada baiknya mengajak penduduk setempat sebagai petunjuk jalan. Naah..mulai dari sini beban ransel kami semakin bertambah, pendakian semakin terasa berat. Namun semangat dari dalam diri kami yang mengalahkan segalanya. Perjalanan untuk melewati hutan kami lanjutkan. Ada hal menarik disini, kami menikmati harmoni dari satwa yang ada dari hutan ini. Mulai dari suara siamang, kicauan burung. Saling sambut-menyambut membentuk sebuah irama yang merdu.
Sumber Mata Air
13.30  (Saatnya karbo Loading)
Setelah berjalan 3 jam, perjalanan sampai dipenghujung hutan. disini kami bertemu dengan pendaki lain. Beberapa kelompok pendaki memutuskan untuk beristirahat disini, ada juga yang tetap melanjutkan pendakian. Berhubung rasa lapar mulai menghampiri kami semua. Berbekal nasi yang kami bungkus dari rumah. diputuskan untuk makan siang disini. Mari Makan!!!
Makan Siang di penghujung hutan
Dari pingiran hutan ini sudah mulai terlihat puncak gunung Burni Telong, tak jarang pendaki mendirikan tenda di sini karena tempatnya yang datar dan sangat luas. Sesuai rencana awal, kami akan mendirikan tenda dipuncak, Sebelum melanjutkan perjalanan, kami terlebih dahulu mencari kayu untuk mendirikan tenda dan kayu bakar. Dipuncak sangat sulit mencari kayu. Kami membagi tugas disini, ada yang membawa kayu untuk tenda, sebagian lagi membawa kayu bakar. Lumayan, buat pengganti tracking pool. Jalan yang akan dilalui semakin menanjak.

Batu Besar
Diawal kita menyusuri kaki gunung, akan ketemu dengan batu besar, medan yang kita lalui akan berganti suasana dengan bebatuan, sesekali  terlihat pohon edelweis yang sedang tak berbunga. Jumlah populasi dari edelweis sekarang jauh lebih sedikit dibanding pendakian saya di tahun 2009 lalu. Dibatu besar ini juga terdapat tempat untuk mendirikana tenda, namun tidak terlalu luas. Kamipun memutuskan untuk beristirahat sejenak, sekedar membasahi tenggorokkan.Wajah-wajah kelelahan sudah mulai melanda kami semua.
Beristirahat dibatu besar
Jalur yang harus ditaklukkan setelah melewati batu besar
Sepanjang jalan menuju gua, kami bertemu dengan banyak pendaki yang berasal dari Lhoksemawe. Kami berbincang-bincang sejenak dengan mereka. Awal nya saya heran, Logatnya khas terdengar mereka berasal dari Medan. Ternyata, tak lama kami ketahui mereka kebanyakan berasal dari Medan yang sedang kuliah di Lhoksemawe. Melihat kabut yang sudah mulai turun, kamipun mendahui rombongan mereka.
Beberapa teman kami sudah terlebih dahulu mencapai gua dan mereka sudah sempat beristirahat disana, sedangkan saya dan Mona berada di belakang. Suara dari teman-teman terdengar dekat. Kamipun mempercepat langkah. Namun gua yang kami bayangkan tak kunjung terlihat. karena kaki yang sudah kelelehan, kami jadi lebih sering berhenti diperjalanan.
“ Ayo..semangat kak Mona!” terdengar teriakan dari arah atas, rasa hati pun senang. Akhirnya kami pun mencapai gua.

17.00 (Sampai di gua)
Gua merupakan batu besar yang menumpu pada batu lainnya, sehingga membentuk ruang. Disini sering juga digunakan pendaki sebagai tempat untuk menginap, karena tidak perlu mendirikan tenda lagi. Namun resikonya ada tetesan air dari celah-celah batu. Dari gua menuju puncak sudah tidak terlalu jauh, sehingga beberapa pendaki ada yang memilih menginap di gua ini, kemudian melakukan Summit Attack. Dari gua menuju puncak kita harus melalui medan yang wow…kita harus saling ranting barang. Banyak juga pendaki yang meninggalkan barang nya disini, lalu mendaki kepuncak dengan hanya membawa badan dan barang seperlunya. Rombongan kami memutuskan menginap di puncak, sehingga harus berjuang membawa ransel melewati medan yang berat ini.
Inilah Suasana Gua yang biasa dijadikan tempat menginap
Bahu menbahu menaklukkan medan
18.00 (Menginjakkan kaki dipuncak)
Setelah berhasil melewati medan yang sulit ini, selanjutnya medan yang kita lalui adalah jalan bebatuan menanjak. Dengan penuh semangat, satu persatu anggota kami mencapai puncak. Orang pertama mencapai puncak adalah Nawar dan Udin. Kami temui mereka sudah  mem-booking lokasi dan mendirikan tenda. Berhubung tenda sudah berdiri, Kami mempersiapkan api untuk memasak air. Dan inilah momen yang tak terlupakan menikmati secangkir kopi Gayo bersama teman-teman. Kopi gayo akan terasa lebih nikmat bila disajikan dengan sepotong roti. Dan itulah yang kami lakukan.
Tenda sudah berdiri, alangkah senangnya hati

Menikmati Kopi gayo di puncak
Hari mulai gelap, kami menyalakan api, untuk persiapan acara bakar-bakar bebek. Yang tak kalah menarik adalah minuman bandrek yang asli racikan anak gunung. wah…enaknya poll..Pas banget buat ngangetin badan di tengah dinginnya suasana malam di puncak. Malam ini kami lalui dengan menikmati makanan dan bercerita dan bercanda ria. Sembari itu kami juga menikmati hamparan lampu bagaikan bintang bertaburan, hingga angin yang begitu menusuk tulang yang membuat kami satu persatu masuk kedalam tenda.
Suasana bakaran malam hari
Disaat kami sedang tertidur nyenyak, suara orang yang naik kepuncak menbuat kami terbangun. Dan kamipun keluar dari tenda dan duduk diluar tenda untuk menantikan sunrise. Karena angin yang bertiup sangat kencang, tenda kami sempat hampir melayang. Api kami nyalakan sekedar untuk menghangatkan badan. Dan yang dinanti pun tiba, kami tidak menyia-nyiakan momen ini dan segera mengambil beberapa gambar untuk kenang-kenangan.
Kedinginan woy
Hari mulai terang, perut mulai keroncongan. Terkahir makan tadi malam. Pagi ini giliran cewek-cewek yang masak. Inilah chef kita, chef Ema yang sedang berusaha menyalakan api
Tiup..tiup dan menyala
Urusan perut sudah terbayarkan, dilanjutkan dengan sesi photo-photo, disini kami sempat berfoto dengan rombongan dari Lhoksemawe, mereka turun lebih awal dari kami. Sedangkan kami turun dari puncak jam 11.30. dan sampai dibawah sudah sore hari.
Photo bersama rombongan pendaki Lhoksemawe
Mengibarkan bendera dipuncak
Pemandangan perbukitanTanoh Gayo
Sekian dulu ya ceritanya, sampai jumpa
By ; SATRIA