Kamis, 18 September 2014

Mengawali Tahun dari Dataran Tinggi Dieng

Liburan panjang, setelah proses pementasan yang panjang, tepat waktu untuk memberi hiburan bagi diri sendiri. Perjalanan yang dilakukan di awal tahun 2013, lumayan lama, dengan destinasi wisata Dieng!!!

Berhubung kisah sudah berlangsung lebih dari setahun yang lalu, dan baru bisa didokumentasikan sekarang, maka semoga tidak terlalu banyak momen yang terlupakan. Walau sebenarnya, pengalaman bersama teman sulit untuk dilupakan.

Dan, kali ini armada kami terdiri dari Satria, Denit, Edo, Nico a.ka. koplak kecil, Wibby, Dion, Tarno, Ibeth, Shindy, dan saya sendiri, Peppy. Perjalanan 2 hari 1 malam Jogja-Dieng semoga menjadi informasi yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Segala keluputan masalah harga, sepenuhnya adalah kesalahan memori penulis.

Dan, dari sinilah semua berawal…

Jumat, 4 Januari 2013

12.00 Kami, adalah anggota sebuah UKM Teater di kampus, setelah proses pementasan yang memakan waktu cukup lama sekarang giliran kami menyenangkan diri sendiri dengan liburan. Meeting point kami adalah Sekretariat UKM. Satu persatu teman-teman mulai berdatangan dengan barang bawaan masing-masing.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 lebih, tapi sang supir, alias Dion IE belum menampakkan batang hidungnya, akhirnya diputuskan Satria dan Shindy yang akan mengambil mobil yang telah kami sewa. Mobil dengan kapasitas 8 orang akan membawa kami menuju… Dieng!!

15.30 Barang sudah ditata rapi di bagasi. Peralatan dokumentasi sudah dimasukkan, logistik selama perjalanan pun sudah diamankan. Personil yang berangkat dari Jogja berjumlah 9 orang. Saya, Satria dan Edo membentuk formasi di kursi paling belakang, ditengah Wibby, Koplak kecil, Ibeth, dan Shindy bersempit-sempit ria. Sedangkan di kursi supir ada Dion, sedangkan Denit menjadi co-supir. Tarno dengan motor Supranya yang lincah itu, akan menunggu di Wonosobo.

Perjalanan Jogja-Wonosobo via Borobudur diwarnai dengan kemacetan di simpang tiga Borobudur. Selepas Borobudur, kami disugihi hujan yang turun dengan syahdu menambah romantis perjalanan dengan jalan menurun, menanjak, dan bergelombang. Pemandangan yang sebenarnya menyegarkan mata, tertutup oleh kabut. Namun, sesekali kami masih bisa memandang deretan pinus dan ladang penduduk di kiri-kanan. Ngantuk sih, tapi sayang kalo tidur.
Entah mengapa, soundtrack perjalanan kali ini adalah sebuah lagu dengan lirik

“Aisyah telah pergi… pergi meninggalkanku…”

Berhubung di mobil tak ada musik, sempat kami berpikir untuk berhenti membeli cd kumpulan lagu, sekedar teman perjalanan. Tapi sang supir tak juga menghentikan laju perjalanannya setiap kami melewati pasar. Jadilah, sepanjang jalan kami hanya mengulang-ulang lirik lagu yang entah siapa penyanyinya. Setiap kami berjumpa dengan mbak-mbak berhijab, kami langsung berteriak dan bernyanyi

“sat..sat… aisyah Sat… Aisyah telaahhh pergi,, pergi meninggalkanku”

16.30 ternyata baru satu jam perjalanan. Medan jalan yang bergelombang dengan sesekali efek kejut berupa lubang tak terlihat membuat perjalanan terasa lama. Melihat ada warung di kanan jalan, dengan pemandangan sawah yang terselimuti kabut di kiri jalan. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan memenuhi panggilan alam.

Brrr… ternyata udara mulai dingin, tapi segar.. Dari jauh, terlihat siluet sebuah gunung, entah gunung apa itu. Ahhhh… akhirnya udara bersih… lalu sebuah truk pasir lewat meninggalkan gas metan berwarna hitam pekat. Hiiihh…

Perhentian Pertama (photo taken by @nicolausprama)

19.00 Akhirnya sampailah kami di jantung kota Wonosobo. Disini menjadi meeting point kami dengan Tarno yang berangkat dari Temanggung. Dengan estimasi kedatangannya yang masih satu jam lagi. Mobil kami parkirkan di alun-alun kota Wonosobo. Semenjak memasuki kota Wonosobo, mata saya terus memperhatikan sepanjang pinggir jalan, mencari pedagang Mendoan, cemilan khas daerah Wonosobo, Gombong, Banjarnegara, dan sekitarnya.

Tempe yang dibalut tepung digoreng tak sampai kering alias setengah basah, menjadi buruan kami malam itu, sebelum makan malam yang sebenarnya. Akhirnya kami menemukan pedagang tempe mendoan, setelah berjalan di bawah rintik gerimis yang syahdu. Benar, kota ini, dingin, hujan, basah, syahdu pokmen!

Singkat cerita, kami menemukan gerobak Pak Aceng, yang berlokasi di sebelah Gapura di depan Penjara. Didepannya terdapat warung sate dengan asapnya yang mengebul memanggil-manggil perut yang lapar. Mendoan dan gorengan lainnya tersaji masih hangat. Segelas teh hangat sudah ditangan kami masing-masing. Sesekali mulut kami megap-megap berusaha menghalau panasnya tempe mendoan yang fresh from the wajan.

Gorengan Panas....

Pak Aceng sang Raja Molen

Mendoan Panas

Sesekali truk besar yang mengangkut galon-galon air mineral merk Aqua lewat didepan kami. Ternyata, pabriknya memang tak jauh dari lokasi gerobak Pak Aceng. Disebelah pabrik tersebut terdapat sebuah kolam renang, dari air akua. Hmmm patut dicoba nih…
Wonosobo di malam hari, di dekat alun-alun yang cantik. Masih banyak kendaraan yang berseliweran, setidaknya kehidupan malam dipusat kota masih terasa.

Sekitar pukul 21.00 akhirnya tour guide kami, Tarno, tiba di Wonosobo. Setelah menitipkan motornya, dia pun bergabung bersama kami, memenuhi mobil sewaan. Formasi pun berubah. Di barisan belakang Edo, Denit dan Tarno. Ditengah, Saya, Satria, Ibeth, dan Koplak kecil. Di depan, Shindy, Wibby dan Mas Supir, Dion. 

Setelah berhenti sejenak di gerobak nasi goreng pinggir jalan. Yang benar-benar di pinggir jalan, dan bukan di trotoar....

22.00 kami melaju ke Dieng. Gerimis yang masih setia menemani sepanjang jalan, diperparah oleh kabut. Harap-harap cemas, dan mempercayakan keselamatan kami secara penuh pada Dion, kami merangkak lamban menuju ke perbatasan Wonosobo-Banjarnegara. Pelan asal selamat, kabut malam itu minta ampun tebalnya. Jarak pandang kami hanya sekitar 5 meter.

23.00 akhirnya setelah perjalanan penuh kewaspadaan. Kami sampai di dekat area candi Dieng. Masih dengan gerimis syahdu, kami mulai mencari penginapan yang disarankan. Satria dan Tarno mulai turun dari mobil dan mengetuk setiap pintu penginapan. 

Dan akhirnya, Flamboyan, salah satu penginapan yang masih memiliki dua kamar kosong menjadi pilihan kami. Satu kamar yang kecil dibandrol harga Rp 100.000,- dan yang agak besar Rp 200.000,-.

Kamar yang kecil kami pakai untuk meletakkan barang-barang, kasur kami ambil, kami satukan di kamar yang besar. Jadilah, 10 orang bagaikan pepes tidur di satu kamar. Setidaknya menghangatkan untuk udara Dieng yang dingin. Penginapan dengan fasilitas air panas, kamar mandi dalam tersebut juga menyediakan pantry bagi para tamu. Istimewa, di meja pantry banyak terdapat bahan makanan seperti roti, mie instan, dan beberapa minuman sachet. Berhubung kami kedinginan dan kelaparan tanpa basa basi kamipun langsung merebus air dan menyeduh beberapa pop mie dan minuman sachet. Usut punya usut, kami sebenarnya tak tahu itu punya siapa. Hahaha… sikaat boss…

Setelah kenyang, teman-teman yang lain pun bersiap untuk tidur, sedangkan saya, yang berstatus mahasiswa universitas lain harus menyelesaikan tugas. Liburan bawa laptop dan ngerjain tugas di penginepan. Naseeebbb…

Tapi, justru ketika saya masih terjaga saya menikmati suasana lelap diantara teman-teman saya. Cerita menarik pun terjadi…
Sekitar pukul 00.00 setelah saya menutup laptop, dan mencoba untuk tidur, tiba-tiba saya terjaga, dan mendengar Tarno berkata “besok lewat Poncol aja” dan seketika itu disaut oleh Denit yang tidur di samping kiri saya “ngomong sama yang dipojok aja”
Kondisinya saat itu adalah seperti ini, Paling ujung kanan saya ada Dion, Edo, Shindy, Ibeth, Satria, Saya dan Denit. Di bagian kaki kami melintang Tarno dan Koplak kecil. Jadi, anggapan saya, yang dimaksud oleh Denit dalam celetukannya tadi adalah Dion, yang notabene adalah supir kami. Setelah menunggu beberapa saat, tak ada kelanjutan percakapan mereka. Lalu saya simpulkan dengan mangkel, Jebul nglindur!


Sabtu, 5 Januari 2013

04.00 perjanjian awal kami akan bangun jam 03.00, untuk mengejar Golden Sunrise di Puncak Sikunir. Alarm sudah terdengar semenjak pukul 02.30. Saya melihat teman-teman yang masih terlelap kelelahan, tak tega untuk membangunkan. 
Sampai akhirnya, pukul 
04.00 mereka terbangun satu persatu. Setelah membasuh muka, mencuci kaki dan gigi, serta melakukan panggilan alam. Kami memutuskan untuk berangkat. 

Selamat Pagi Dieng!!


Sayangnya langkah kami untuk mengejar golden sunrise tersendat. Lokasi parkir hotel yang sangat sempit membuat kami kesulitan mengeluarkan mobil. Dion yang diributkan oleh arahan beberapa teman laki-laki pun panik dan Sraaakkk… pintu bagian samping kanan pun bercumbu dengan besi pagar. Sayangnya, mobil belum berhasil keluar. Kemudi diambil alih oleh Satria, dan Sraaakk… untuk kedua kalinya, ditempat yang hampir sama. Kali ini mobil berhasil dikeluarkan. Kami pun bersorak kegirangan, tak peduli mobil sewaan kami sudah meninggalkan oleh-oleh yang menyakitkan dompet.

05.00 Perjalanan menuju Golden Sunrise yang terlambat pun dilakukan. Matahari sudah mulai memberikan warna pada pemandangan sekitar kami. Pipa-pipa gas alam terlihat di kanan kiri sepanjang perjalanan, bahkan ada yang melintang diatas jalan. 

Pipa Gas Alam Sepanjang perjalanan Sikunir dengan latar belakang kepulan asap kawah
Kami pun melewati desa tertinggi di Pulau Jawa. Desa Sembungan berada di wilayah administratif Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Berada di ketinggian 2.306 mdpl menjadikan Desa Sembungan menjadi desa tertinggi di Pulau Jawa.

Di desa ini tinggal beberapa anak rambut gembel. Yaitu anak yang memiliki rambut gimbal asli, dan mereka harus melalui ritual pemotongan rambut, dimana segala permintaan si anak harus dituruti oleh orang tuanya. Keunikan desa ini, menjadikannya sebagai salah satu destinasi wisata di kawasan Dieng.

05.30 tibalah kami di Sikunir, setelah membayar biaya retribusi, perjalanan kami dimulai. Sebenarnya kami tak pernah menyangka akan melakukan pendakian. Ibeth, berbekal sandal jepit menjadi pendaki yang luar biasa hari itu. Ketidaktahuan kami akan medan Puncak Sikunir membuat kami mendaki tanpa persiapan. Air tak banyak, penambah energi pun tak kami bawa. Break berkali-kali dan fisik yang kaku, lumayan juga, lumayan menyiksa maksudnya.

"Semangat Ibeth!!" kata Tarno

Puncak Sikunir, meskipun kami gagal mendapatkan Golden Sunrise, lagipula mendung juga sih, tapi pemandangan yang terhampar cukup mengobati lelah. Jajaran Gunung Sindoro-Sumbing telah siap menyambut kami. Sisa-sisa awan dipuncak gunung membentuk sebuah cawan terbalik. Eksotisme yang ditawarkan tak henti-hentinya memberi warna lain bagi mata kami. Pagi yang menyegarkan!!
Suasana tidak tlalu ramai, namun juga tidak terlalu sepi. Banyak rombongan anak muda seperti kami, yang berasal dari Wonosobo dan sekitarnya sudah lebih dahulu berada di Puncak Sikunir.
Hanya sekitar satu jam kami berada diatas.

Puncak Sikunir

Gazebo pandang

Sisi lain Puncak Sikunir

Salam Hormat dari Sikunir
Warning!


7.30 kami sudah turun dari Puncak Sikunir. Menuju ke warung yang menjajakan makanan ringan dan minuman penghangat. Beberapa warung telah penuh oleh wisatawan lain. Kami memilih satu yang sepi.
Makanan khas Sikunir adalah kentang goreng yang ditusuk seperti sate. Selain itu ada semacam cireng yang disajikan dengan saos yang pedasnya lumayan menghangatkan dan nagih! Tersedia pula terong belanda, buah yang sedang di budidayakan di Dataran Tinggi Dieng. 
Sebagai perkenalan, sang pemilik warung mengijinkan kami menikmati sebuah terong belanda secara gratis. Rasanya… hambar.


Terong Belanda edisi perkenalan

Warung yang kami singgahi

Yang ditusuk itu, kentang loh..


Di bawah Puncak Sikunir, terdapat sebuah telaga, Telaga Cebong. Biasanya para pendaki yang ngecamp mendirikan tendanya di samping telaga ini. Memang terdapat sebuah dataran berumput yang luas yang bisa menampung banyak tenda disana. Hari itu kami melihat sepasang laki-laki dan perempuan sedang membereskan tenda mereka. Kebayang, bagaimana dinginnya semalam. Meskipun tidak langsung menghadap ke telaga karena terhadang semak belukar, tapi saya yakin, mendirikan tenda di dekat sumber air yang luas, memiliki tingkat kedinginan yang menyengat tulang. Apalagi jika kondisi tubuh belum menyesuaikan suhu setempat. Aaee maateee…

Saya dan Tarno menghadap Telaga Cebong 

Perahu yang berlabuh di pinggir Telaga Cebong

9.18 puas mengisi perut yang lapar dengan cemilan khas Dataran Tinggi Dieng. Tujuan kami selanjutnya adalah Telaga Warna. Kawasan Wisata ini menyimpan beberapa situs-situs bersejarah. Sayang beberapa tidak terdokumentasikan.

kompleks Telaga Warna

(kemungkinan) Telaga Pengilon

Penanda situs Batu Tulis Eyang PurwoWaseso

jalan menurun

dan menanjak

Telaga Warna

Gadjah Mada Statue

Perbuatan siapa ini??

Telaga ... duh gak ada keterangannya tapi jadi satu kompleks Telaga Warna

The Best Spot To take a Best Shoot

10.23 Kawah Sikidang. Kawah berdiameter sekitar 2 meter, dengan warna air belerang abu-abu kelam ini selalu mengeluarkan kepulan asap belerang. Hati-hati sesak nafas. Karenanya, masker menjadi hal yang wajib dipakai. Jika tak membawa, jangan khawatir, banyak penjual yang menjajakan masker di pintu masuknya.
Bau belerang yang menyengat membuat Shindy tak tahan dan ingin muntah, akhirnya separuh perjalanan kaki menuju kawah, dirinya menyerah dan diajak oleh Dion untuk menjauhi area. Sampai kami pulang pun, jika ada yang menyebut kata “belerang” dirinya langsung pusing dan mual. Oke kami tutup mulut. Sayangnya alas kaki kami masih menyisakan bau belerang dari Kawah Sikidang. Jadi ya, maaf ya Shin…

Sight seeing Kawah Sikidang

This is it!! Kawah Sikidang

Aliran air belerang, hangat loh..

11.00 kami melewatkan Kompleks Candi Arjuno, dan langsung menuju penginapan untuk check-out. Tanpa mandi kami melaju meninggalkan Dataran Tinggi Dieng. Sampai jumpa lagi Dieng….

12.00 Inilah alasan kami untuk tidak mandi. Kalianget, sebuah kolam pemandian air panas. Berada ± 3 km dari Kota Wonbosobo, dari luar memang tampak seperti kolam biasa. Yang special disini menawarkan pemandian air hangat. Mulai dari anak kecil sampai lansia bercampur dalam satu kolam. Disini kami memanjakan badan yang capek dengan kehangatan air panas. Selain kolam air panas, disediakan pula kolam renang air dingin. Tak peduli dengan udara yang dingin, kami pun menuju kolam renang tersebut. Dan benar, dinginnya sampai menciutkan jantung dan paru-paru *okay lebay*. Air yang jernih, hampir tak berasa kaporitnya, sayang, terlalu dingin untuk saya. Tapi sampai sekarang pun, saya masih ingin kembali kesana.

13.00 meninggalkan Kalianget kami menuju ke warung Mie Ongklok. Taraaa… sudah sampai di Wonosobo dan tak mencoba makanan khasnya adalah suatu yang mubazir. Berada di sebuah warung kecil samping KUA, semangkuk Mie Ongklok yang dibandrol harga Rp 5.000,- siap menjadi santapan siang kami. Jika menambah seporsi sate sapi akan dikenai tambahan biaya Rp 11.000,-.

Mie ongklok, tampak seperti mie ayam kebanyakan, yang membedakan adalah kuah kental yang disiramkan diatasnya. Sadaaappp…
Setelah semangkuk mie ongklok, segelas teh hangat, oleh-oleh khas Wonosobo, dan say see you to Tarno. Kami siap menuju Jogja!!!

19.00 sampailah kami di Sekretariat UKM dan siap menuju rumah masing-masing. Meskipun masih ada beban membayar kerugian akibat mobil yang tergores. Setidaknya kami senang, iya lah liburan masak sedih. Hahahaha…

Setiap perjalanan memberikan pelajaran. Berkelanalah selagi masih memiliki kesempatan.

Sampai jumpa di cerita Saujana Semesta selanjutnya. Masih di area Pulau Jawa.

@peppyepifanie

Senin, 15 September 2014

Persemayaman Para Dewa - Part III Final

Bagian ini akan ditulis oleh 2 orang, berhubung saya (@peppyepifanie) nggak ikut Summit, maka bagian tersebut akan ditulis oleh @satria_gayo. Dan inilah bagian akhir dokumentasi perjalanan menuju Persemayaman Para Dewa sampai akhirnya kembali ke pelukan kasur masing-masing di Yogyakarta…

Saujana...

Summit Attack
23.00 Alarm dengan nada yang cukup nikmat sebagai pengantar tidur, akhirnya bangunkan kami. Mencoba mengintip keluar tenda, Buseet udara dingin selimuti kalimati malam ini. Berhubung niatan dalam hati yang begitu besar, Ingin menginjakkan kaki di puncak tertinggi pulau Jawa. Dan persiapan pun dimulai.
Dari rombongan  kita, Ada 6 orang ranger yang mau muncak nich. Hendra, Edo, Denit, Sindy, si Om, dan Satria. Masing-masing sudah siap dengan jaket polar, Sepatu tracking, Sarung tangan, Head lamp. Dan yang nggak kalah penting adalah air minum. Sedangkan Career dan barang- barang kita tinggalkan dalam tenda di Kalimati, Mengingat medan yang dilalui berat.

23.30 Setelah semua ready, Kita membentuk lingkaran untuk berdoa sebelum memulai perjalanan. Dan summit Attack pun dimulai. Uuuyyyeah..

Puncak mahameru dari kalimati
Medan awal yang kita lalui Kalimati- Arcopodo berupa hutan dengan kiri-kanan berupa pohon cemara dan tanah yang berdebu. Disarankan memakai masker dan kacamata. Suhu disini memang sangat dingin, Menusuk kedalam tulang. Tubuh masih belum begitu beradaptasi dengan suhu yang ekstrim ini, Di awal perjalanan, Sindy sempat menanyakan “ Kok badan ku dingin banget ya! Aku bisa melanjutkan perjalanan nggak ya?” berbekal semangat dari teman-teman dan niatan untuk menaklukan diri sendiri, perjalanan kembali dilanjutkan.

Satu hal yang menarik, sepanjang perjalanan, kami ditemani cahaya bulan purnama. Jadi pengunaan Head lamp bisa di minimalisir. Jalan setapak terus kami lalui sambil terkadang langkah kaki terhenti, Untuk sejenak menikmati keindahan yang tersaji di atas langit. Cukup lah untuk mengobati hati yang lelah, *dungdeess
Setelah perjalanan ± 1 jam, Nggak tau tepat nya jam berapa itu, Salah satu anggota kita mendapat panggilan alam, maklum dari Rakum belum sempat Nge-bom. Naah,  berhubung kita pendaki yang menjunjung tinggi prilaku kucing saat membuang kotoran. Jadi kita membuat lubang sebelum Nge-bom. Patut ditiru nich!.

Pendakian dilanjutkan dengan medan yang semakin menanjak, berkelok dan berdebu. Iringan pendaki di belakang kami semakin banyak,dan beberapa kali kami di passing oleh pendaki dari rombongan lain. Ketika semangat sudah mulai kendur, Selalu ada om dengan segala keunikan nya, Berkata “ Awak dewe kan dolan, slow lah ”.

Rasa lelah terobati ketika kami menghadap kearah barat, dan disuguhi pemandangan kota dari ketinggian, kerlap-kerlip lampu seperti bintang bertaburan. Sayang nya, Saat itu tidak ada dokumentasi. Yaa.. terkadang keindahan itu tidak perlu di abadikan, cukup dinikmati saja. Kami beristirahat sejenak disini,  Sambil membasahi tenggorokkan yang kering karena debu.

Minggu, 7 September 2014

01.00 Singkat cerita, vegetasi pohon cemara sudah semakin sedikit. Kami sudah berada di ketinggian 2900 Mdpl. Yeeeyy. Akhirnya sampai juga di Arcopodo. Sempat bertanya dalam hati, “mana Arca nya?” tapi abaikan pertanyaan itu, tujuan kita bukan meneliti Arca nya. Ini merupakan vegetasi terakhir sebelum memasuki track pasir dan berbatu.

Oke.. Sekarang kita mau Fighting dari Arcopodo - Puncak Mahameru. Dari sini puncak sudah terlihat jelas, seperti sedang bermimpi, bisa berada disini. Udara dingin semakain menguras energi,kami sudah kehabisan pasokan air. Yang tersisa hanyalah semangat untuk menuntaskan pendakian ini. Agaknya lagu ini cocok buat kita teman

Kita daki gunung dengan hati yang teguh
Ayo kawan capai puncak nya, Ayo
Kita daki gunung dengan hati teguh
Ayo kawan capai puncak nya
(Mendaki Gunung- Coklat)

Kekompakkan kelompok kami sangat terjaga, kami berjalan beriringan, di barisan depan ada Hendra, Semangat nya masih penuh. Walaupun Head lamp sudah mulai meredup, hanya pinjaman dari Peppy yang masih nyentrik. Sesekali sorotan dari pendaki dibawah menyilaukan mata kami. Tetap semangat guys!!!

Setengah perjalanan, Oksigen semakin tipis, medan yang semakin terjal. Sindy sempat terjatuh karena kelelahan. Beberapa teknik sudah diterapkan, mulai dari berjalan dan berhenti sesaat, berjalan tiga langkah lalu berhenti. Akhirnya Kami memutuskan untuk break. Beberapa pendaki dari kelompok lain juga sedang beristirahat untuk sejenak mengatur nafas. Namun, selalu ada yang istimewa disaat kami mulai kelelahan. Bulan berbentuk lingkaran sempurna berada sejajar dengan kami. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. 

Mahameru berikan damainya. (Dewa 19- Mahameru)

Diperjalanan nyali kami menciut ketika sesekali terdengar teriakan “Awas batu”, yang langsung dilakukan adalah melihat kearah datang nya batu, memastikan  kalau batunya berhenti tergelincir.   kemudian waspada dan saling mengingatkan untuk tidak menginjak batu, Agar tidak membahayakan pendaki lainnya.

Oke guys, dalam perjalan summit Attack ini musuh terbesar selain diri sendiri adalah angin. Kini giliran si om yang mulai merasa kedinginan, dia yang berada di belakang saya dan sindy, tiba- tiba mendekat dan berkata “ Sin, Aku udah kedinginan. Tak tunggu diatas ya. Nanti tak sambut kalian” kurang lebih kalimat nya begitu, persis nya saya lupa. Si om mempercepat langkah nya. Dalam keadaan seperti ini, hanya diri kita lah yang paling mengerti keadaan dan kapasitas kita. Maka keputusan yang diambil harus benar- benar tepat. Sedang di atas terlihat Edo, Denit, Hendra yang sedang berjuang dengan sisa tenaga.

“Bang break” teriak Sindy, melihat kondisi fisik yang sudah sangat lemah, Kami memutuskan beristirahat di lereng bekas aliran lahar, setidaknya sedikit terlindung dari hembusan angin. Disana ada seorang mbak-mbak yang sedang duduk beristirahat sambil tertidur. Mungkin teman-teman nya sudah naik duluan. Kami beristirahat 10 menit,  Edo sempat tertidur dan ngergaji bosss. Khawatir jika berhenti terlalu lama suhu tubuh semakin menurun, saya mengajak teman-teman melanjutkan pendakian, dan membangunkan Edo yang sempat tertidur. * tidak disaran kan tidur saat pendakian, karena saat tidak sadar suhu tubuh kita menurun. Pendakian pun kami lanjutkan.

Kini puncak Mahameru sudah semakin dekat, bukan lagi mitos kalau puncak abadi para Dewa itu ada, kami sudah melihat wujudnya dari kejauhan.

04.30 Kalau dilihat dari total perjalanan, kami sudah menempuh ¾ perjalanan. Kami menemukan Om yang sudah kedingin dengan kondisi badan mengigil, dengan sebatang rokok di tangan nya. Si Om menanyakan “ apakah masih ada air?” kami sudah kehabisan air. Om memutuskan untuk turun, saat itu kondisi fisik kami sudah benar-benar droop. Kami memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan, namun kejam nya suhu menju puncak menuntut kami untuk mengambil keputusan dengan cepat dan tepat. Kami memegang prinsip, “Turun satu, turun semua. Muncak satu, muncak semua”. Dan kami memutuskan untuk turun semua. Kami memiliki harapan suatu saat kami akan menginjakkan kaki di puncak Mahameru.
Sambil dadah- dadah sama Mahameru, Rombongan turun kami bagi beberapa kloter, Om yang sudah kedinginan ditemani Edo, Sindy bersama saya dan di belakang Hendra bersama Denit. Saat turun kami harus hati hati, karena dari arah bawah masih banyak pendaki yang sedang naik.

Perjalanan turun dari Mahameru
05.00 Dari arah timur garis orange membentang panjang, pertanda matahari akan mebuka pintu nya. Walaupun tidak bisa menikmati sunrise di puncak, kami tidak melewatkan momen indah ini. Terima kasih Tuhan atas lukisan indah pagi ini. Cukup untuk mengembalikan energy kami yang telah terkuras.

Garis orange pertanda matahari akan membuka matanya

Matahari  bersiap menghangatkan kami yang kedinginan

Berkat sinar matahari, kami sudah bisa tersenyum, terima kasih matahari!

Setelah semua selesai (istirahat dan foto-foto) kami melanjutkan perjalanan turun. Di perjalanan kami bertemu dengan rombongan pendaki yang sedang beristirahat dengan seorang penduduk setempat yang kami kira adalah porter. saya bersama Sindy berniat ingin meminta air minum. Bapak itu justru menawarkan kami gorengan dan minuman, Wedyan, bapak itu ternyata pedagang yang hendak membawa dagangan nya ke puncak. Perbincangan hangat pun terjadi antara kami, pedagang, dan satu rombongan mas-mas dan mbak-mbak yang turun karena anggota nya ada yang sudah muntah tiga kali. Energi kami sudah pulih, berkat asupan gorengan dari bapak pedagangnya. dan kami melanjutkan perjalanan turun menuju kalimati.

Sekian cerita Summit Attack kami, Semoga Masih diberi kesempatan mencumbui pasirnya.#Mahameru. 

Kembali ke Kalimati

06.15 Sebenarnya saya sudah terjaga semenjak pukul 05.30, tapi sungguh dingin yang menyelimuti dan tenda yang saya kuasai sendiri, membuat saya betah meringkuk di Sleeping Bag. Niat untuk membangunkan Adi dan mengajaknya memasak untuk menyambut teman-teman saya urungkan. Toh paling mereka masih lama. Tapi tiba-tiba terdengar suara cempreng si om “Enggak sampai puncak pak, airnya habis, tinggal sepertiganya padahal” Sontak saya langsung terbangun dan membuka tenda. Berdua, Edo dan Si om sampai di tenda dengan kelelahan. Menanyakan kabar teman yang lainnya, sempat saya merasa khawatir. Semoga mereka baik-baik saja. Tanpa berlama-lama saya langsung mengajak si om yang kelelahan untuk menyalakan kompor dan memasak nasi.

Pagi itu menu kami adalah Orak-arik buncis dan wortel… yeaayy,,, sayang ga sempet di dokumentasikan.

07.00 Saya masih sibuk memotong-motong wortel dan buncis, akhirnya terdengar suara shindy, yang ceria. Puji Tuhan. Melihat sang pakar nasi bernama sep *bukan chef* Satria datang, saya pun memintanya mengecek nasi yang kami tanak. Alhamdullilah, nasi matang dengan baik, ga kaya malam sebelumnya ahahay…
Pagi yang cerah itu, tidak akan kami lewatkan tanpa… foto-foto!!!!




09.00 adalah jam makan pagi bagi mereka yang ingin makan. Sebelumnya saya sudah menenggak beberapa minuman sachet, dan berhubung belum setor, sarapan pun saya pending. Dan sungguh keputusan ini sangat tidak disarankan.

11.00 kami rapat sebentar untuk menentukan langkah kepulangan kami ke Jogja. Dan sepertinya mengejar kereta sudah tidak mungkin dilakukan, perjalanan darat dengan bus pun menjadi pilihan satu-satunya.

11.40 Tenda sudah terlipat, carrier sudah dipunggung, doa sudah dipanjatkan, foto pun sudah diambil tibalah saatnya untuk berkata…
Sampai Jumpa Mahameru!!!

12.04 Setelah menuruni jalanan berpasir yang aduhai debunya, akibat kami menuruninya sambil berlari, sampailah kami di Jambangan. Kami berjumpa dengan rombongan dari peserta kursus Kampung Inggris Pare, salah satu diantara mereka ternyata berasal dari Sleman. Mbak Restu namanya, dengan wajah manis, dan suara yang ngebass menjadi sebuah pribadi unik yang langsung di bribik sama jomblo-ngenes-susah-move-on bernama Yoanez Delasele blablabla *maaf nama terlalu panjang*. Setelah percakapan menyenangkan dengan beberapa rombongan pendaki, perjalanan pun berlanjut.

14.10 Cemoro Kandang. Disini kamu beristirahat cukup lama. Menikmati indahnya Oro-oro Ombo yang dibingkai langit biru aahhh… take me there again!!!





16.00 Ranu Kumbolo menjadi penyegar bagi kami sore itu. Membasuh tangan, kaki dan muka, menikmati segarnya Ranu Kumbolo untuk yang terakhir kali ini. Andaikan boleh nyemplung, tapi jangan ya gais, nanti bisa digebukin sama orang se-Indonesia raya merdeka!

Terima Kasih Ranu Kumbolo
Disini, seorang kawan kami mendapat pelajaran berharga mengenai persiapan. Jika kamu adalah mahasiswa aktif, perokok aktif, namun dompet tak selalu aktif. Usahakan ketika mendaki gunung persiapan kepulan asapmu sebanding dengan jumlah hari yang akan kamu habiskan di gunung. Karena, jika tidak, percayalah, kamu tiba-tiba akan menjadi seorang perokok aktif yang dermawan. Bukan main-main, setiap rupiah yang kamu keluarkan untuk menukarnya dengan barang apapun, include tenaga yng harus dikeluarkan oleh penjualnya. Termasuk dengan cacahan dan yang dibakar ini, harganya meningkat 2x lipat dari harga aslinya. Selamat!! Tapi jika kamu berjiwa sosial seperti teman kami ini, maka kamu akan merelakan uang kamu untuk mendapatkan kehangatan.
 
16.30 Sampai jumpa Ranu Kumbolo!

Aku hanya pergi tuk sementara, bukan tuk meninggalkanmu selamanya, aku pasti kembali untuk dirimu… entah kapan….tapi aku pasti kembali (lupa siapa penyanyinya) 

Tanjakan (yang dua malam sebelumnya adalah turunan mematikan bagi saya) merupakan kembaran yang agak manusiawi dari tanjakan cinta, medan yang berpasir, berkali-kali harus dibasuh dengan memandang rindu ke arah Ranu Kumbolo.

22.30 Break!!! Makan malam yang sangat terlambat di Pos II, kami semakin lemah, saya yang kelaparan, si om yang mulai merasakan tulangnya tak lagi muda, dan kelelahan yang dahsyat. Logistik pun dikeluarkan, yang tersisa hanyalah mie instan, dan beberapa minuman sachet. Api unggun dinyalakan, kompor mulai beraksi. Beberapa menit kemudian, mie instan sudah tersedia, ditambah dengan minuman penghangat oplosan, mulai dari energen, jahe wangi, dan sekoteng bercampur menjadi satu. Bodo amat yang penting kenyang dan anget.

Selarut itu, kami berjumpa dengan seorang mas dan seorang mbak. Hanya daypack H2O yang ada di depan dada mereka, dengan selang menggantung. Mereka pun mampir di Pos II. Menarik, ternyata mereka yang berasal dari Tangerang, baru saja mengikuti Bromo Marathon, dan menyempatkan diri untuk “mampir” ke Semeru, mumpung kata mereka. 
Rombongan mereka ternyata ada yang masih tertinggal di Pos I. “anaknya temen lagi tidur soalnya” statement tersebut langsung menarik perhatian kami. Anak? Usia berapa? “lima tahun, cewek” apaaa!!!! Lima Tahun, selarut ini harus mendaki Semeru?? “tapi kecil-kecil track record-nya udah bagus dia, udah pernah dibawa ke Kerinci sama Rinjani” mendengar hal tersebut kami hanya menganga, “Ampuuunn deekk” kata si om.

Perjalanan tinggal sebentar lagi, menuju ke tempat pertemuan kami dengan Mahendra kecil yang unik. Kali ini kami berharap-harap cemas berjumpa dengan si adik kecil yang sedang tidur di Pos I.
Jalur Pos I-Pos II dan sebaliknya, menjadi jalur yang tak terlupakan bagi kami. Keberangkatan kami disambut dengan Mahendra kecil, dan Kepulangan kami berpapasan dengan Si cici… entah itu namanya, atau sebutannya, atau malah sebutan ibunya. Namun nama itulah yang keluar dari mulut mas-mas di Pos II tadi.

Alkisah  Si cici kecil ini, memiliki wajah yang lucu khas anak kecil, dengan ekspresi bangun tidur, berjalan dengan ringan sambil mengusap-usapkan tangannya yang dibalut sarung tangan. Mungil sekali, di depannya ibunya menggendong carrier, begitu juga dibelakangnya, ayahnya yang lumayan ganteng *untuk yang terakhir, subjektif boleh ya* menggendong carrier dengan kapasitas sekitar 80 liter . Gemaassssss…… *sama si cici loh, bukan bapaknya*
Dan bisa diprediksi angan kami masing-masing adalah, suatu hari akan melakukan pendakian bersama keluarga kecil. Dasar Jomblo! *loh

23.55 waktu jam di pergelangan tangan saya, dan tibalah kami di pintu gerbang pendakian di Ranu Pani. Dengan sisa-sisa tenaga, kami berjalan berderap di aspal yang menanjak. Langit diatas sana berawan, bulan bersinar dengan terang menemani langkah kami menuju tempat peristirahatan. Kaki mulai berat untuk melangkah.
Tenda didirikan diantara dinding dan bangunan Information Centre. Sebelum tidur, saya, Denit, Satria, dan Adi hendak mengisi perut di warung terdekat. Namun ternyata, tutup.. aahhh,,, ya sudahlah, tiduur sajaaaa...

Senin, 8 September 2014

06.15 Ranu Pani pagi hari. Terbangun dari tidur lelap kami, setelah puas bersautan gergaji alami dari nafas masing-masing. Air di toilet umum siap menyambut kami. Menyegarkan dengan dinginnya yang membekukan syaraf. Setidaknya kami sedikit bersih. Setidaknya kami tidak akan membuat pingsan penumpang lain di kendaraan umum nanti. Setidaknya kami tidak terlalu terlihat sebagai “rombongan terasi”. Ahh bukankan terasi itu nikmat?? Oke, lupakan.

Tenda kami di Ranu Pani, siap untuk dibongkar
09.00 Terimakasih atas malam terakhir, terima kasih atas air yang menyegarkan, terima kasih atas sarapan, pengisian baterai hape, dan souvenirnya. Sampai jumpa lagi Ranu Pani.

Jeep yang mengantarkan kami, bertambah 2 orang mas-mas yang juga hendak menuju Tumpang. Jeep tertutup yang full musik dangdut diisi oleh 12 orang kami bertujuh, bapak sopir yang ganteng, dan kakaknya duduk di kap depan. 3 orang berada di atap adalah Satria dan dua mas-mas tersebut. Seperti sedang menaiki roller coaster dengan pemandangan alam, mereka harus waspada dengan daun-daun beserta ranting dan juga gapura selamat datang. Sedangkan kami yang di dalam, awalnya asik berdendang musik dangdut yang diputar, setelah 20 menit hanya terdiam, ngantuk dan mual. Akhirnya Edo pun menyerah, kami break sejenak menikmati pemadangan alam, dan memulihkan kondisi mas Edo yang lemas.

Penumpang atas Jeep, Hai Bang Sat!!!

10.00-14.00 beralih dari Jeep ke angkot putih, kami meninggalkan Tumpang menuju Terminal Arjosari Malang. Setelah sebelumnya kami mengembalikan peralatan yang kami sewa, pak sopir yang baik, menunjukkan tempat makan murah meriah dengan porsi amat-sangat-banyak-sekali.

Teminal Arjosari Malang
14.55 Perut kenyang, tenaga terisi. Dengan tiket seharga Rp 25.000,- bus Dana Dhasih jurusan Malang-Surabaya mengantarkan kami. Semeru di kejauhan mengantarkan kami, didampingi oleh Gunung Arjuno yang runcing mereka berdiri dengan gagah menjaga Malang dan sekitarnya. “Sampai jumpa lagi Semeru” bisik saya dalam hati.

16.30 baru 30 menit saya terlelap, Shindy membangunkan, dan tampak bus sudah memasuki Terminal Purabaya, atau dikenal juga dengan Bungurasih. Kami yang terlelap sepanjang perjalanan, menuruni bus dengan muka bantal, dan tampang kebingungan. Nyawa belum terkumpul sepenuhnya. Dan seperti yang dulu-dulu, toilet atau di Surabaya disebut Ponten, menjadi tujuan awal kami sebelum melanjutkan perjalanan.

17.51 Bis Patas Eka, sudah siap mengantar kami menuju Jogja!!!

Siap Melaju dengan Bus Patas EKA 
00.00 Akhirnya, Jogja yang Berhati Nyaman.

EPILOG

Whatever happened in Semeru, Stay in Semeru (Adi, 2014). Kenangan, memori, cerita, apapun itu yang pernah kita jalani bersama, tiada kata yang bisa diucapkan selain terima kasih telah menjadi teman seperjalanan yang menyenangkan, yang saling mengerti, saling memahami. Terima kasih kepada semesta yang mengijinkan kami mencumbuinya, bercengkrama dengannya, perjumpaan hangat dengan orang-orang baru. Kita telah membuktikan negeri ini perlu untuk dijaga, dari setiap penjajahan yang dilakukan baik bangsa lain maupun bangsa sendiri. 
Seperti Soundtrack pendakian ini, Terlatih Patah Hati- The rain feat. Endank Soekamti, kami pastikan kami adalah pemuda-pemuda kuat yang bertanggung jawab pada diri sendiri maupun orang lain. Semoga masing-masing dari kami membawa pulang pemaknaan pribadi. 

Bersama teman, mengasah pribadi, mengukir cinta - Semeru, 5-8 September 2014

Salam Cinta dari Semeru 
Terimakasih Semesta…
@satria_gayo

@peppyepifanie