Kamis, 18 September 2014

Mengawali Tahun dari Dataran Tinggi Dieng

Liburan panjang, setelah proses pementasan yang panjang, tepat waktu untuk memberi hiburan bagi diri sendiri. Perjalanan yang dilakukan di awal tahun 2013, lumayan lama, dengan destinasi wisata Dieng!!!

Berhubung kisah sudah berlangsung lebih dari setahun yang lalu, dan baru bisa didokumentasikan sekarang, maka semoga tidak terlalu banyak momen yang terlupakan. Walau sebenarnya, pengalaman bersama teman sulit untuk dilupakan.

Dan, kali ini armada kami terdiri dari Satria, Denit, Edo, Nico a.ka. koplak kecil, Wibby, Dion, Tarno, Ibeth, Shindy, dan saya sendiri, Peppy. Perjalanan 2 hari 1 malam Jogja-Dieng semoga menjadi informasi yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Segala keluputan masalah harga, sepenuhnya adalah kesalahan memori penulis.

Dan, dari sinilah semua berawal…

Jumat, 4 Januari 2013

12.00 Kami, adalah anggota sebuah UKM Teater di kampus, setelah proses pementasan yang memakan waktu cukup lama sekarang giliran kami menyenangkan diri sendiri dengan liburan. Meeting point kami adalah Sekretariat UKM. Satu persatu teman-teman mulai berdatangan dengan barang bawaan masing-masing.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 lebih, tapi sang supir, alias Dion IE belum menampakkan batang hidungnya, akhirnya diputuskan Satria dan Shindy yang akan mengambil mobil yang telah kami sewa. Mobil dengan kapasitas 8 orang akan membawa kami menuju… Dieng!!

15.30 Barang sudah ditata rapi di bagasi. Peralatan dokumentasi sudah dimasukkan, logistik selama perjalanan pun sudah diamankan. Personil yang berangkat dari Jogja berjumlah 9 orang. Saya, Satria dan Edo membentuk formasi di kursi paling belakang, ditengah Wibby, Koplak kecil, Ibeth, dan Shindy bersempit-sempit ria. Sedangkan di kursi supir ada Dion, sedangkan Denit menjadi co-supir. Tarno dengan motor Supranya yang lincah itu, akan menunggu di Wonosobo.

Perjalanan Jogja-Wonosobo via Borobudur diwarnai dengan kemacetan di simpang tiga Borobudur. Selepas Borobudur, kami disugihi hujan yang turun dengan syahdu menambah romantis perjalanan dengan jalan menurun, menanjak, dan bergelombang. Pemandangan yang sebenarnya menyegarkan mata, tertutup oleh kabut. Namun, sesekali kami masih bisa memandang deretan pinus dan ladang penduduk di kiri-kanan. Ngantuk sih, tapi sayang kalo tidur.
Entah mengapa, soundtrack perjalanan kali ini adalah sebuah lagu dengan lirik

“Aisyah telah pergi… pergi meninggalkanku…”

Berhubung di mobil tak ada musik, sempat kami berpikir untuk berhenti membeli cd kumpulan lagu, sekedar teman perjalanan. Tapi sang supir tak juga menghentikan laju perjalanannya setiap kami melewati pasar. Jadilah, sepanjang jalan kami hanya mengulang-ulang lirik lagu yang entah siapa penyanyinya. Setiap kami berjumpa dengan mbak-mbak berhijab, kami langsung berteriak dan bernyanyi

“sat..sat… aisyah Sat… Aisyah telaahhh pergi,, pergi meninggalkanku”

16.30 ternyata baru satu jam perjalanan. Medan jalan yang bergelombang dengan sesekali efek kejut berupa lubang tak terlihat membuat perjalanan terasa lama. Melihat ada warung di kanan jalan, dengan pemandangan sawah yang terselimuti kabut di kiri jalan. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan memenuhi panggilan alam.

Brrr… ternyata udara mulai dingin, tapi segar.. Dari jauh, terlihat siluet sebuah gunung, entah gunung apa itu. Ahhhh… akhirnya udara bersih… lalu sebuah truk pasir lewat meninggalkan gas metan berwarna hitam pekat. Hiiihh…

Perhentian Pertama (photo taken by @nicolausprama)

19.00 Akhirnya sampailah kami di jantung kota Wonosobo. Disini menjadi meeting point kami dengan Tarno yang berangkat dari Temanggung. Dengan estimasi kedatangannya yang masih satu jam lagi. Mobil kami parkirkan di alun-alun kota Wonosobo. Semenjak memasuki kota Wonosobo, mata saya terus memperhatikan sepanjang pinggir jalan, mencari pedagang Mendoan, cemilan khas daerah Wonosobo, Gombong, Banjarnegara, dan sekitarnya.

Tempe yang dibalut tepung digoreng tak sampai kering alias setengah basah, menjadi buruan kami malam itu, sebelum makan malam yang sebenarnya. Akhirnya kami menemukan pedagang tempe mendoan, setelah berjalan di bawah rintik gerimis yang syahdu. Benar, kota ini, dingin, hujan, basah, syahdu pokmen!

Singkat cerita, kami menemukan gerobak Pak Aceng, yang berlokasi di sebelah Gapura di depan Penjara. Didepannya terdapat warung sate dengan asapnya yang mengebul memanggil-manggil perut yang lapar. Mendoan dan gorengan lainnya tersaji masih hangat. Segelas teh hangat sudah ditangan kami masing-masing. Sesekali mulut kami megap-megap berusaha menghalau panasnya tempe mendoan yang fresh from the wajan.

Gorengan Panas....

Pak Aceng sang Raja Molen

Mendoan Panas

Sesekali truk besar yang mengangkut galon-galon air mineral merk Aqua lewat didepan kami. Ternyata, pabriknya memang tak jauh dari lokasi gerobak Pak Aceng. Disebelah pabrik tersebut terdapat sebuah kolam renang, dari air akua. Hmmm patut dicoba nih…
Wonosobo di malam hari, di dekat alun-alun yang cantik. Masih banyak kendaraan yang berseliweran, setidaknya kehidupan malam dipusat kota masih terasa.

Sekitar pukul 21.00 akhirnya tour guide kami, Tarno, tiba di Wonosobo. Setelah menitipkan motornya, dia pun bergabung bersama kami, memenuhi mobil sewaan. Formasi pun berubah. Di barisan belakang Edo, Denit dan Tarno. Ditengah, Saya, Satria, Ibeth, dan Koplak kecil. Di depan, Shindy, Wibby dan Mas Supir, Dion. 

Setelah berhenti sejenak di gerobak nasi goreng pinggir jalan. Yang benar-benar di pinggir jalan, dan bukan di trotoar....

22.00 kami melaju ke Dieng. Gerimis yang masih setia menemani sepanjang jalan, diperparah oleh kabut. Harap-harap cemas, dan mempercayakan keselamatan kami secara penuh pada Dion, kami merangkak lamban menuju ke perbatasan Wonosobo-Banjarnegara. Pelan asal selamat, kabut malam itu minta ampun tebalnya. Jarak pandang kami hanya sekitar 5 meter.

23.00 akhirnya setelah perjalanan penuh kewaspadaan. Kami sampai di dekat area candi Dieng. Masih dengan gerimis syahdu, kami mulai mencari penginapan yang disarankan. Satria dan Tarno mulai turun dari mobil dan mengetuk setiap pintu penginapan. 

Dan akhirnya, Flamboyan, salah satu penginapan yang masih memiliki dua kamar kosong menjadi pilihan kami. Satu kamar yang kecil dibandrol harga Rp 100.000,- dan yang agak besar Rp 200.000,-.

Kamar yang kecil kami pakai untuk meletakkan barang-barang, kasur kami ambil, kami satukan di kamar yang besar. Jadilah, 10 orang bagaikan pepes tidur di satu kamar. Setidaknya menghangatkan untuk udara Dieng yang dingin. Penginapan dengan fasilitas air panas, kamar mandi dalam tersebut juga menyediakan pantry bagi para tamu. Istimewa, di meja pantry banyak terdapat bahan makanan seperti roti, mie instan, dan beberapa minuman sachet. Berhubung kami kedinginan dan kelaparan tanpa basa basi kamipun langsung merebus air dan menyeduh beberapa pop mie dan minuman sachet. Usut punya usut, kami sebenarnya tak tahu itu punya siapa. Hahaha… sikaat boss…

Setelah kenyang, teman-teman yang lain pun bersiap untuk tidur, sedangkan saya, yang berstatus mahasiswa universitas lain harus menyelesaikan tugas. Liburan bawa laptop dan ngerjain tugas di penginepan. Naseeebbb…

Tapi, justru ketika saya masih terjaga saya menikmati suasana lelap diantara teman-teman saya. Cerita menarik pun terjadi…
Sekitar pukul 00.00 setelah saya menutup laptop, dan mencoba untuk tidur, tiba-tiba saya terjaga, dan mendengar Tarno berkata “besok lewat Poncol aja” dan seketika itu disaut oleh Denit yang tidur di samping kiri saya “ngomong sama yang dipojok aja”
Kondisinya saat itu adalah seperti ini, Paling ujung kanan saya ada Dion, Edo, Shindy, Ibeth, Satria, Saya dan Denit. Di bagian kaki kami melintang Tarno dan Koplak kecil. Jadi, anggapan saya, yang dimaksud oleh Denit dalam celetukannya tadi adalah Dion, yang notabene adalah supir kami. Setelah menunggu beberapa saat, tak ada kelanjutan percakapan mereka. Lalu saya simpulkan dengan mangkel, Jebul nglindur!


Sabtu, 5 Januari 2013

04.00 perjanjian awal kami akan bangun jam 03.00, untuk mengejar Golden Sunrise di Puncak Sikunir. Alarm sudah terdengar semenjak pukul 02.30. Saya melihat teman-teman yang masih terlelap kelelahan, tak tega untuk membangunkan. 
Sampai akhirnya, pukul 
04.00 mereka terbangun satu persatu. Setelah membasuh muka, mencuci kaki dan gigi, serta melakukan panggilan alam. Kami memutuskan untuk berangkat. 

Selamat Pagi Dieng!!


Sayangnya langkah kami untuk mengejar golden sunrise tersendat. Lokasi parkir hotel yang sangat sempit membuat kami kesulitan mengeluarkan mobil. Dion yang diributkan oleh arahan beberapa teman laki-laki pun panik dan Sraaakkk… pintu bagian samping kanan pun bercumbu dengan besi pagar. Sayangnya, mobil belum berhasil keluar. Kemudi diambil alih oleh Satria, dan Sraaakk… untuk kedua kalinya, ditempat yang hampir sama. Kali ini mobil berhasil dikeluarkan. Kami pun bersorak kegirangan, tak peduli mobil sewaan kami sudah meninggalkan oleh-oleh yang menyakitkan dompet.

05.00 Perjalanan menuju Golden Sunrise yang terlambat pun dilakukan. Matahari sudah mulai memberikan warna pada pemandangan sekitar kami. Pipa-pipa gas alam terlihat di kanan kiri sepanjang perjalanan, bahkan ada yang melintang diatas jalan. 

Pipa Gas Alam Sepanjang perjalanan Sikunir dengan latar belakang kepulan asap kawah
Kami pun melewati desa tertinggi di Pulau Jawa. Desa Sembungan berada di wilayah administratif Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Berada di ketinggian 2.306 mdpl menjadikan Desa Sembungan menjadi desa tertinggi di Pulau Jawa.

Di desa ini tinggal beberapa anak rambut gembel. Yaitu anak yang memiliki rambut gimbal asli, dan mereka harus melalui ritual pemotongan rambut, dimana segala permintaan si anak harus dituruti oleh orang tuanya. Keunikan desa ini, menjadikannya sebagai salah satu destinasi wisata di kawasan Dieng.

05.30 tibalah kami di Sikunir, setelah membayar biaya retribusi, perjalanan kami dimulai. Sebenarnya kami tak pernah menyangka akan melakukan pendakian. Ibeth, berbekal sandal jepit menjadi pendaki yang luar biasa hari itu. Ketidaktahuan kami akan medan Puncak Sikunir membuat kami mendaki tanpa persiapan. Air tak banyak, penambah energi pun tak kami bawa. Break berkali-kali dan fisik yang kaku, lumayan juga, lumayan menyiksa maksudnya.

"Semangat Ibeth!!" kata Tarno

Puncak Sikunir, meskipun kami gagal mendapatkan Golden Sunrise, lagipula mendung juga sih, tapi pemandangan yang terhampar cukup mengobati lelah. Jajaran Gunung Sindoro-Sumbing telah siap menyambut kami. Sisa-sisa awan dipuncak gunung membentuk sebuah cawan terbalik. Eksotisme yang ditawarkan tak henti-hentinya memberi warna lain bagi mata kami. Pagi yang menyegarkan!!
Suasana tidak tlalu ramai, namun juga tidak terlalu sepi. Banyak rombongan anak muda seperti kami, yang berasal dari Wonosobo dan sekitarnya sudah lebih dahulu berada di Puncak Sikunir.
Hanya sekitar satu jam kami berada diatas.

Puncak Sikunir

Gazebo pandang

Sisi lain Puncak Sikunir

Salam Hormat dari Sikunir
Warning!


7.30 kami sudah turun dari Puncak Sikunir. Menuju ke warung yang menjajakan makanan ringan dan minuman penghangat. Beberapa warung telah penuh oleh wisatawan lain. Kami memilih satu yang sepi.
Makanan khas Sikunir adalah kentang goreng yang ditusuk seperti sate. Selain itu ada semacam cireng yang disajikan dengan saos yang pedasnya lumayan menghangatkan dan nagih! Tersedia pula terong belanda, buah yang sedang di budidayakan di Dataran Tinggi Dieng. 
Sebagai perkenalan, sang pemilik warung mengijinkan kami menikmati sebuah terong belanda secara gratis. Rasanya… hambar.


Terong Belanda edisi perkenalan

Warung yang kami singgahi

Yang ditusuk itu, kentang loh..


Di bawah Puncak Sikunir, terdapat sebuah telaga, Telaga Cebong. Biasanya para pendaki yang ngecamp mendirikan tendanya di samping telaga ini. Memang terdapat sebuah dataran berumput yang luas yang bisa menampung banyak tenda disana. Hari itu kami melihat sepasang laki-laki dan perempuan sedang membereskan tenda mereka. Kebayang, bagaimana dinginnya semalam. Meskipun tidak langsung menghadap ke telaga karena terhadang semak belukar, tapi saya yakin, mendirikan tenda di dekat sumber air yang luas, memiliki tingkat kedinginan yang menyengat tulang. Apalagi jika kondisi tubuh belum menyesuaikan suhu setempat. Aaee maateee…

Saya dan Tarno menghadap Telaga Cebong 

Perahu yang berlabuh di pinggir Telaga Cebong

9.18 puas mengisi perut yang lapar dengan cemilan khas Dataran Tinggi Dieng. Tujuan kami selanjutnya adalah Telaga Warna. Kawasan Wisata ini menyimpan beberapa situs-situs bersejarah. Sayang beberapa tidak terdokumentasikan.

kompleks Telaga Warna

(kemungkinan) Telaga Pengilon

Penanda situs Batu Tulis Eyang PurwoWaseso

jalan menurun

dan menanjak

Telaga Warna

Gadjah Mada Statue

Perbuatan siapa ini??

Telaga ... duh gak ada keterangannya tapi jadi satu kompleks Telaga Warna

The Best Spot To take a Best Shoot

10.23 Kawah Sikidang. Kawah berdiameter sekitar 2 meter, dengan warna air belerang abu-abu kelam ini selalu mengeluarkan kepulan asap belerang. Hati-hati sesak nafas. Karenanya, masker menjadi hal yang wajib dipakai. Jika tak membawa, jangan khawatir, banyak penjual yang menjajakan masker di pintu masuknya.
Bau belerang yang menyengat membuat Shindy tak tahan dan ingin muntah, akhirnya separuh perjalanan kaki menuju kawah, dirinya menyerah dan diajak oleh Dion untuk menjauhi area. Sampai kami pulang pun, jika ada yang menyebut kata “belerang” dirinya langsung pusing dan mual. Oke kami tutup mulut. Sayangnya alas kaki kami masih menyisakan bau belerang dari Kawah Sikidang. Jadi ya, maaf ya Shin…

Sight seeing Kawah Sikidang

This is it!! Kawah Sikidang

Aliran air belerang, hangat loh..

11.00 kami melewatkan Kompleks Candi Arjuno, dan langsung menuju penginapan untuk check-out. Tanpa mandi kami melaju meninggalkan Dataran Tinggi Dieng. Sampai jumpa lagi Dieng….

12.00 Inilah alasan kami untuk tidak mandi. Kalianget, sebuah kolam pemandian air panas. Berada ± 3 km dari Kota Wonbosobo, dari luar memang tampak seperti kolam biasa. Yang special disini menawarkan pemandian air hangat. Mulai dari anak kecil sampai lansia bercampur dalam satu kolam. Disini kami memanjakan badan yang capek dengan kehangatan air panas. Selain kolam air panas, disediakan pula kolam renang air dingin. Tak peduli dengan udara yang dingin, kami pun menuju kolam renang tersebut. Dan benar, dinginnya sampai menciutkan jantung dan paru-paru *okay lebay*. Air yang jernih, hampir tak berasa kaporitnya, sayang, terlalu dingin untuk saya. Tapi sampai sekarang pun, saya masih ingin kembali kesana.

13.00 meninggalkan Kalianget kami menuju ke warung Mie Ongklok. Taraaa… sudah sampai di Wonosobo dan tak mencoba makanan khasnya adalah suatu yang mubazir. Berada di sebuah warung kecil samping KUA, semangkuk Mie Ongklok yang dibandrol harga Rp 5.000,- siap menjadi santapan siang kami. Jika menambah seporsi sate sapi akan dikenai tambahan biaya Rp 11.000,-.

Mie ongklok, tampak seperti mie ayam kebanyakan, yang membedakan adalah kuah kental yang disiramkan diatasnya. Sadaaappp…
Setelah semangkuk mie ongklok, segelas teh hangat, oleh-oleh khas Wonosobo, dan say see you to Tarno. Kami siap menuju Jogja!!!

19.00 sampailah kami di Sekretariat UKM dan siap menuju rumah masing-masing. Meskipun masih ada beban membayar kerugian akibat mobil yang tergores. Setidaknya kami senang, iya lah liburan masak sedih. Hahahaha…

Setiap perjalanan memberikan pelajaran. Berkelanalah selagi masih memiliki kesempatan.

Sampai jumpa di cerita Saujana Semesta selanjutnya. Masih di area Pulau Jawa.

@peppyepifanie

1 komentar: