Liburan panjang, setelah proses pementasan yang panjang, tepat
waktu untuk memberi hiburan bagi diri sendiri. Perjalanan yang dilakukan di awal
tahun 2013, lumayan lama, dengan destinasi wisata Dieng!!!
Berhubung kisah sudah berlangsung lebih dari setahun yang lalu,
dan baru bisa didokumentasikan sekarang, maka semoga tidak terlalu banyak momen
yang terlupakan. Walau sebenarnya, pengalaman bersama teman sulit untuk
dilupakan.
Dan, kali ini armada kami terdiri dari Satria, Denit, Edo, Nico
a.ka. koplak kecil, Wibby, Dion, Tarno, Ibeth, Shindy, dan saya sendiri, Peppy.
Perjalanan 2 hari 1 malam Jogja-Dieng semoga menjadi informasi yang bermanfaat
bagi siapapun yang membacanya. Segala keluputan masalah harga, sepenuhnya
adalah kesalahan memori penulis.
Dan, dari sinilah semua berawal…
Jumat, 4 Januari 2013
12.00 Kami, adalah anggota sebuah UKM Teater di kampus, setelah
proses pementasan yang memakan waktu cukup lama sekarang giliran kami
menyenangkan diri sendiri dengan liburan. Meeting point kami adalah Sekretariat
UKM. Satu persatu teman-teman mulai berdatangan dengan barang bawaan
masing-masing.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 lebih, tapi sang supir, alias
Dion IE belum menampakkan batang hidungnya, akhirnya diputuskan Satria dan
Shindy yang akan mengambil mobil yang telah kami sewa. Mobil dengan kapasitas 8
orang akan membawa kami menuju… Dieng!!
15.30 Barang sudah ditata rapi di bagasi. Peralatan dokumentasi
sudah dimasukkan, logistik selama perjalanan pun sudah diamankan. Personil yang
berangkat dari Jogja berjumlah 9 orang. Saya, Satria dan Edo membentuk formasi
di kursi paling belakang, ditengah Wibby, Koplak kecil, Ibeth, dan Shindy
bersempit-sempit ria. Sedangkan di kursi supir ada Dion, sedangkan Denit
menjadi co-supir. Tarno dengan motor Supranya yang lincah itu, akan menunggu di
Wonosobo.
Perjalanan Jogja-Wonosobo via Borobudur diwarnai dengan
kemacetan di simpang tiga Borobudur. Selepas Borobudur, kami disugihi hujan
yang turun dengan syahdu menambah romantis perjalanan dengan jalan menurun,
menanjak, dan bergelombang. Pemandangan yang sebenarnya menyegarkan mata,
tertutup oleh kabut. Namun, sesekali kami masih bisa memandang deretan pinus
dan ladang penduduk di kiri-kanan. Ngantuk sih, tapi sayang kalo tidur.
Entah mengapa, soundtrack perjalanan kali ini adalah sebuah lagu
dengan lirik
“Aisyah telah pergi… pergi meninggalkanku…”
Berhubung di mobil tak ada musik, sempat kami berpikir untuk
berhenti membeli cd kumpulan lagu, sekedar teman perjalanan. Tapi sang supir
tak juga menghentikan laju perjalanannya setiap kami melewati pasar. Jadilah,
sepanjang jalan kami hanya mengulang-ulang lirik lagu yang entah siapa
penyanyinya. Setiap kami berjumpa dengan mbak-mbak berhijab, kami langsung
berteriak dan bernyanyi
“sat..sat… aisyah Sat… Aisyah telaahhh pergi,, pergi
meninggalkanku”
16.30 ternyata baru satu jam perjalanan. Medan jalan yang
bergelombang dengan sesekali efek kejut berupa lubang tak terlihat membuat
perjalanan terasa lama. Melihat ada warung di kanan jalan, dengan pemandangan
sawah yang terselimuti kabut di kiri jalan. Kami memutuskan untuk beristirahat
sejenak dan memenuhi panggilan alam.
Brrr… ternyata udara mulai dingin, tapi segar.. Dari jauh,
terlihat siluet sebuah gunung, entah gunung apa itu. Ahhhh… akhirnya udara
bersih… lalu sebuah truk pasir lewat meninggalkan gas metan berwarna hitam
pekat. Hiiihh…
Perhentian Pertama (photo taken by @nicolausprama) |
19.00 Akhirnya sampailah kami di jantung kota Wonosobo. Disini
menjadi meeting point kami dengan Tarno yang berangkat dari Temanggung. Dengan
estimasi kedatangannya yang masih satu jam lagi. Mobil kami parkirkan di
alun-alun kota Wonosobo. Semenjak memasuki kota Wonosobo, mata saya terus
memperhatikan sepanjang pinggir jalan, mencari pedagang Mendoan, cemilan khas
daerah Wonosobo, Gombong, Banjarnegara, dan sekitarnya.
Tempe yang dibalut tepung digoreng tak sampai kering alias
setengah basah, menjadi buruan kami malam itu, sebelum makan malam yang
sebenarnya. Akhirnya kami menemukan pedagang tempe mendoan, setelah berjalan di
bawah rintik gerimis yang syahdu. Benar, kota ini, dingin, hujan, basah, syahdu
pokmen!
Singkat cerita, kami menemukan gerobak Pak Aceng, yang berlokasi
di sebelah Gapura di depan Penjara. Didepannya terdapat warung sate dengan
asapnya yang mengebul memanggil-manggil perut yang lapar. Mendoan dan gorengan
lainnya tersaji masih hangat. Segelas teh hangat sudah ditangan kami
masing-masing. Sesekali mulut kami megap-megap berusaha menghalau panasnya
tempe mendoan yang fresh from the wajan.
Gorengan Panas.... |
Pak Aceng sang Raja Molen |
Mendoan Panas |
Sesekali truk besar yang mengangkut galon-galon air mineral merk
Aqua lewat didepan kami. Ternyata, pabriknya memang tak jauh dari lokasi
gerobak Pak Aceng. Disebelah pabrik tersebut terdapat sebuah kolam renang, dari
air akua. Hmmm patut dicoba nih…
Wonosobo di malam hari, di dekat alun-alun yang cantik. Masih
banyak kendaraan yang berseliweran, setidaknya kehidupan malam dipusat kota
masih terasa.
Sekitar pukul 21.00 akhirnya tour guide kami, Tarno, tiba di
Wonosobo. Setelah menitipkan motornya, dia pun bergabung bersama kami, memenuhi
mobil sewaan. Formasi pun berubah. Di barisan belakang Edo, Denit dan Tarno.
Ditengah, Saya, Satria, Ibeth, dan Koplak kecil. Di depan, Shindy, Wibby dan
Mas Supir, Dion.
Setelah berhenti sejenak di gerobak nasi goreng pinggir jalan.
Yang benar-benar di pinggir jalan, dan bukan di trotoar....
22.00 kami melaju ke Dieng. Gerimis yang masih setia menemani
sepanjang jalan, diperparah oleh kabut. Harap-harap cemas, dan mempercayakan
keselamatan kami secara penuh pada Dion, kami merangkak lamban menuju ke
perbatasan Wonosobo-Banjarnegara. Pelan asal selamat, kabut malam itu minta
ampun tebalnya. Jarak pandang kami hanya sekitar 5 meter.
23.00 akhirnya setelah perjalanan penuh kewaspadaan. Kami sampai
di dekat area candi Dieng. Masih dengan gerimis syahdu, kami mulai mencari
penginapan yang disarankan. Satria dan Tarno mulai turun dari mobil dan
mengetuk setiap pintu penginapan.
Dan akhirnya, Flamboyan, salah satu
penginapan yang masih memiliki dua kamar kosong menjadi pilihan kami. Satu
kamar yang kecil dibandrol harga Rp 100.000,- dan yang agak besar Rp 200.000,-.
Kamar yang kecil kami pakai untuk meletakkan barang-barang,
kasur kami ambil, kami satukan di kamar yang besar. Jadilah, 10 orang bagaikan
pepes tidur di satu kamar. Setidaknya menghangatkan untuk udara Dieng yang
dingin. Penginapan dengan fasilitas air panas, kamar mandi dalam tersebut juga
menyediakan pantry bagi para tamu. Istimewa, di meja pantry banyak terdapat
bahan makanan seperti roti, mie instan, dan beberapa minuman sachet. Berhubung
kami kedinginan dan kelaparan tanpa basa basi kamipun langsung merebus air dan
menyeduh beberapa pop mie dan minuman sachet. Usut punya usut, kami sebenarnya
tak tahu itu punya siapa. Hahaha… sikaat boss…
Setelah kenyang, teman-teman yang lain pun bersiap untuk tidur,
sedangkan saya, yang berstatus mahasiswa universitas lain harus menyelesaikan
tugas. Liburan bawa laptop dan ngerjain tugas di penginepan. Naseeebbb…
Tapi, justru ketika saya masih terjaga saya menikmati suasana
lelap diantara teman-teman saya. Cerita menarik pun terjadi…
Sekitar pukul 00.00 setelah saya menutup laptop, dan mencoba
untuk tidur, tiba-tiba saya terjaga, dan mendengar Tarno berkata “besok lewat
Poncol aja” dan seketika itu disaut oleh Denit yang tidur di samping kiri saya
“ngomong sama yang dipojok aja”
Kondisinya saat itu adalah seperti ini, Paling ujung kanan saya
ada Dion, Edo, Shindy, Ibeth, Satria, Saya dan Denit. Di bagian kaki kami
melintang Tarno dan Koplak kecil. Jadi, anggapan saya, yang dimaksud oleh Denit
dalam celetukannya tadi adalah Dion, yang notabene adalah supir kami. Setelah
menunggu beberapa saat, tak ada kelanjutan percakapan mereka. Lalu saya
simpulkan dengan mangkel, Jebul nglindur!
Sabtu, 5 Januari 2013
04.00 perjanjian awal kami akan bangun jam 03.00, untuk mengejar
Golden Sunrise di Puncak Sikunir. Alarm sudah terdengar semenjak pukul 02.30.
Saya melihat teman-teman yang masih terlelap kelelahan, tak tega untuk
membangunkan.
Sampai akhirnya, pukul
04.00 mereka terbangun satu persatu.
Setelah membasuh muka, mencuci kaki dan gigi, serta melakukan panggilan alam.
Kami memutuskan untuk berangkat.
Selamat Pagi Dieng!! |
Sayangnya langkah kami untuk mengejar golden
sunrise tersendat. Lokasi parkir hotel yang sangat sempit membuat kami kesulitan
mengeluarkan mobil. Dion yang diributkan oleh arahan beberapa teman laki-laki
pun panik dan Sraaakkk… pintu bagian samping kanan pun bercumbu dengan besi
pagar. Sayangnya, mobil belum berhasil keluar. Kemudi diambil alih oleh Satria,
dan Sraaakk… untuk kedua kalinya, ditempat yang hampir sama. Kali ini mobil
berhasil dikeluarkan. Kami pun bersorak kegirangan, tak peduli mobil sewaan
kami sudah meninggalkan oleh-oleh yang menyakitkan dompet.
05.00 Perjalanan menuju Golden Sunrise yang terlambat pun
dilakukan. Matahari sudah mulai memberikan warna pada pemandangan sekitar kami.
Pipa-pipa gas alam terlihat di kanan kiri sepanjang perjalanan, bahkan ada yang
melintang diatas jalan.
Pipa Gas Alam Sepanjang perjalanan Sikunir dengan latar belakang kepulan asap kawah |
Kami pun melewati desa tertinggi di Pulau Jawa. Desa
Sembungan berada di wilayah administratif Kecamatan Kejajar, Kabupaten
Wonosobo. Berada di ketinggian 2.306 mdpl menjadikan Desa Sembungan menjadi
desa tertinggi di Pulau Jawa.
Di desa ini tinggal beberapa anak rambut gembel. Yaitu anak yang
memiliki rambut gimbal asli, dan mereka harus melalui ritual pemotongan rambut,
dimana segala permintaan si anak harus dituruti oleh orang tuanya. Keunikan
desa ini, menjadikannya sebagai salah satu destinasi wisata di kawasan Dieng.
05.30 tibalah kami di Sikunir, setelah membayar biaya retribusi,
perjalanan kami dimulai. Sebenarnya kami tak pernah menyangka akan melakukan
pendakian. Ibeth, berbekal sandal jepit menjadi pendaki yang luar biasa hari
itu. Ketidaktahuan kami akan medan Puncak Sikunir membuat kami mendaki tanpa
persiapan. Air tak banyak, penambah energi pun tak kami bawa. Break
berkali-kali dan fisik yang kaku, lumayan juga, lumayan menyiksa maksudnya.
"Semangat Ibeth!!" kata Tarno |
Puncak Sikunir, meskipun kami gagal mendapatkan Golden Sunrise,
lagipula mendung juga sih, tapi pemandangan yang terhampar cukup mengobati lelah.
Jajaran Gunung Sindoro-Sumbing telah siap menyambut kami. Sisa-sisa awan
dipuncak gunung membentuk sebuah cawan terbalik. Eksotisme yang ditawarkan tak
henti-hentinya memberi warna lain bagi mata kami. Pagi yang menyegarkan!!
Suasana tidak tlalu ramai, namun juga tidak terlalu sepi. Banyak
rombongan anak muda seperti kami, yang berasal dari Wonosobo dan sekitarnya
sudah lebih dahulu berada di Puncak Sikunir.
Hanya sekitar satu jam kami berada diatas.
Puncak Sikunir |
Gazebo pandang |
Sisi lain Puncak Sikunir |
Salam Hormat dari Sikunir |
Warning! |
7.30 kami sudah turun dari Puncak Sikunir. Menuju ke warung yang
menjajakan makanan ringan dan minuman penghangat. Beberapa warung telah penuh
oleh wisatawan lain. Kami memilih satu yang sepi.
Makanan khas Sikunir adalah kentang goreng yang ditusuk seperti
sate. Selain itu ada semacam cireng yang disajikan dengan saos yang pedasnya
lumayan menghangatkan dan nagih! Tersedia pula terong belanda, buah yang sedang
di budidayakan di Dataran Tinggi Dieng.
Sebagai perkenalan, sang pemilik warung
mengijinkan kami menikmati sebuah terong belanda secara gratis. Rasanya…
hambar.
Terong Belanda edisi perkenalan |
Warung yang kami singgahi |
Yang ditusuk itu, kentang loh.. |
Di bawah Puncak Sikunir, terdapat sebuah telaga, Telaga Cebong. Biasanya para pendaki yang ngecamp mendirikan tendanya di samping telaga ini. Memang terdapat sebuah dataran berumput yang luas yang bisa menampung banyak tenda disana. Hari itu kami melihat sepasang laki-laki dan perempuan sedang membereskan tenda mereka. Kebayang, bagaimana dinginnya semalam. Meskipun tidak langsung menghadap ke telaga karena terhadang semak belukar, tapi saya yakin, mendirikan tenda di dekat sumber air yang luas, memiliki tingkat kedinginan yang menyengat tulang. Apalagi jika kondisi tubuh belum menyesuaikan suhu setempat. Aaee maateee…
Saya dan Tarno menghadap Telaga Cebong |
Perahu yang berlabuh di pinggir Telaga Cebong |
9.18 puas mengisi perut yang lapar dengan cemilan khas Dataran
Tinggi Dieng. Tujuan kami selanjutnya adalah Telaga Warna. Kawasan Wisata ini
menyimpan beberapa situs-situs bersejarah. Sayang beberapa tidak
terdokumentasikan.
kompleks Telaga Warna |
(kemungkinan) Telaga Pengilon |
Penanda situs Batu Tulis Eyang PurwoWaseso |
jalan menurun |
dan menanjak |
Telaga Warna |
Gadjah Mada Statue |
Perbuatan siapa ini?? |
Telaga ... duh gak ada keterangannya tapi jadi satu kompleks Telaga Warna |
The Best Spot To take a Best Shoot |
10.23 Kawah Sikidang. Kawah berdiameter sekitar 2 meter, dengan
warna air belerang abu-abu kelam ini selalu mengeluarkan kepulan asap belerang.
Hati-hati sesak nafas. Karenanya, masker menjadi hal yang wajib dipakai. Jika tak
membawa, jangan khawatir, banyak penjual yang menjajakan masker di pintu
masuknya.
Bau belerang yang menyengat membuat Shindy tak tahan dan ingin
muntah, akhirnya separuh perjalanan kaki menuju kawah, dirinya menyerah dan diajak
oleh Dion untuk menjauhi area. Sampai kami pulang pun, jika ada yang menyebut
kata “belerang” dirinya langsung pusing dan mual. Oke kami tutup mulut. Sayangnya
alas kaki kami masih menyisakan bau belerang dari Kawah Sikidang. Jadi ya, maaf
ya Shin…
Sight seeing Kawah Sikidang |
This is it!! Kawah Sikidang |
Aliran air belerang, hangat loh.. |
11.00 kami melewatkan Kompleks Candi Arjuno, dan langsung menuju
penginapan untuk check-out. Tanpa mandi kami melaju meninggalkan Dataran Tinggi
Dieng. Sampai jumpa lagi Dieng….
12.00 Inilah alasan kami untuk tidak mandi. Kalianget, sebuah
kolam pemandian air panas. Berada ± 3 km dari Kota Wonbosobo, dari luar memang
tampak seperti kolam biasa. Yang special disini menawarkan pemandian air
hangat. Mulai dari anak kecil sampai lansia bercampur dalam satu kolam. Disini kami
memanjakan badan yang capek dengan kehangatan air panas. Selain kolam air
panas, disediakan pula kolam renang air dingin. Tak peduli dengan udara yang
dingin, kami pun menuju kolam renang tersebut. Dan benar, dinginnya sampai
menciutkan jantung dan paru-paru *okay lebay*. Air yang jernih, hampir tak
berasa kaporitnya, sayang, terlalu dingin untuk saya. Tapi sampai sekarang pun,
saya masih ingin kembali kesana.
13.00 meninggalkan Kalianget kami menuju ke warung Mie Ongklok.
Taraaa… sudah sampai di Wonosobo dan tak mencoba makanan khasnya adalah suatu
yang mubazir. Berada di sebuah warung kecil samping KUA, semangkuk Mie Ongklok
yang dibandrol harga Rp 5.000,- siap menjadi santapan siang kami. Jika menambah
seporsi sate sapi akan dikenai tambahan biaya Rp 11.000,-.
Mie ongklok, tampak seperti mie ayam kebanyakan, yang membedakan
adalah kuah kental yang disiramkan diatasnya. Sadaaappp…
Setelah semangkuk mie ongklok, segelas teh hangat, oleh-oleh
khas Wonosobo, dan say see you to Tarno. Kami siap menuju Jogja!!!
19.00 sampailah kami di Sekretariat UKM dan siap menuju rumah
masing-masing. Meskipun masih ada beban membayar kerugian akibat mobil yang
tergores. Setidaknya kami senang, iya lah liburan masak sedih. Hahahaha…
Setiap perjalanan memberikan pelajaran. Berkelanalah selagi
masih memiliki kesempatan.
Sampai jumpa di cerita Saujana Semesta selanjutnya. Masih di
area Pulau Jawa.
@peppyepifanie
Nice posting, sangat memberikan Informasi.
BalasHapus